Rabu, 29 Mei 2013

Jurnal Hukum Perdata

ABSTRACT
Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.

Keyword: pemerintah, subjek hukum.


A. LATAR BELAKANG
Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari melakukan tindakan-tindakan bisnis dengan pihak non-pemerintah. Pemerintah misalnya perlu membeli barang atau jasa (government procurement) dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari.

Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

Oleh karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum yang dikenal dengan kontrak.
Secara sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu. Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata.
Apabila telah di pahami bahwa yang dimaksud para pihak dalam kontrak adalah subjek hukum perdata, maka timbul pertanyaan apakah mungkin pemerintah yang tidak biasanya di persepsikan sebagai subjek hukum perdata tetapi subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau jasa?
B. PEMBAHASAN
1. Subjek Hukum perdata

Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum di kenal dengan istilah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk apa yang di sebut badan hukum.2 Istilah subjek Hukum berasal dari terjemahan rechsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris).
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Didalam berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson).
Pada Dasarnya manusia mempunyai hak sejak di lahirkan, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Selain naturlijkperson sebagai subjek hukum, maka subjek hukum lainnya adalah badan hukum rechtperson. Dalam pengaturannya tidak ada satu pasal pun yang memberikan pengertian badan hukum. Pengertian badan hukum hanya dapat di lihat dalam doktrin ilmu hukum, salah satunya menurut Rochmat Soemitro rechtperson adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.

2. Kedudukan Pemerintah

Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara.

Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan melalui perwakilan yaitu pejabat.

Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan.


3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa

Dalam pengadaan barang barang atau jasa, pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dalam konteks demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW.

Keterlibatan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn negara, propinsi, kotapraja dan lain sebaginya adalah badan hukum.
Kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan subjek hukum privat lainnya yakni orang maupun badan hukum, Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa.
Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.
Kesimpulan
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum.
Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.
 Sumber :

Kamis, 02 Mei 2013

Anti Monopolii dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


  1.  Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha

“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
  2.   Azas dan Tujuan
 Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
 1.Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
 2.Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
 3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
 4.Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

  3.   Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli
 Pasal 17
 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
 a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
 b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
 c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 Bagian KeduaMonopsoni
 Pasal 18
 (1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 Bagian KetigaPenguasaan Pasar
 Pasal 19
 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
 a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
 b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 Pasal 21
 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Bagian KeempatPersekongkolan
 Pasal 22
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Pasal 23
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Pasal 24
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

 4.   Perjanjian yang dilarang
Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.

Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
1. Oligopoli
 Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
 Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
 a.    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
 b.    Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
 c.    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
 d.    Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
 Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
 Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 5.   Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
 1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
 (a) Oligopoli
 (b) Penetapan harga
 (c) Pembagian wilayah
 (d) Pemboikotan
 (e) Kartel
 (f) Trust
 (g) Oligopsoni
 (h) Integrasi vertikal
 (i) Perjanjian tertutup
 (j) Perjanjian dengan pihak luar negeri

 2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
 yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
 (a) Monopoli
 (b) Monopsoni
 (c) Penguasaan pasar
 (d) Persekongkolan

 3. Posisi dominan, yang meliputi :
 (a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
 (b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
 (c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
 (d) Jabatan rangkap
 (e) Pemilikan saham
 (f) Merger, akuisisi, konsolidasi

 6. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
 1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
 2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
 3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain. Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1.     Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2.    Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3.    Efisiensi alokasi sumber daya alam
4.    Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5.    Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
6.    Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7.    Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8.    Menciptakan inovasi dalam perusahaan

 7.    Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48
 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
 (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
 (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49
 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
 a. pencabutan izin usaha; atau
 b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
 c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
 Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

Sumber :

Penyelesaian Sengketa Ekonomi


A.    PENGERTIAN SENGKETA
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dengan cara lapangkah, atau bahkan cara yang kasar dan merugikan orang lain. Tentu kita harus profesional menyikapi semua ini demi kelangsungan hidup yang harmonis tentram dan nyaman, dan tentu tidak untuk merugikan orang lain. Kenapa kita harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya. Berikut adalah pengertian dari sengketa itu sendiri, menurut kamus bahasa indonesia dan menurut Ali Achmad.

·         Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia
Berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

·         Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu, hal ini terjadi dikarenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Jelas kita ketahui bahwa suatu sengketa tentu subjeknya tidak hanya satu, namun lebih dari satu, entah itu antar individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar sekalipun. Objek dari suatu sengketa sendiri cukup beragam. Misalnya saja rumah, hak milik rumah atau tanah, tanah, uang, warisan, bahkan bisa objek ini adalah hak asuh anak. Kenapa bisa terjadi demikian? Tentu karena adanya kesalahpahaman, atau bahkan karena adanya unsur ingin memiliki meski pihak tersebut mengetahui kalau itu bukan miliknya. Hal inilah yang paling sering kita temui dimana menjadi penyebab suatu konflik. Semoga kita sadar dan peka untuk melihat kebenaran dan kita bisa melangkah ke jalan kebenaran, karena hidup ini akan indah dengan jalan kebenaran.

Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.
Hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3). Berikut Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, antara lain :
1.      Negosiasi.
 Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia. 40 Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.

2.      Pencarian Fakta
Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun acapkali permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian karenanya bergantung kepada penguraian fakta-fakta yang para pihak tidak sepakati. Oleh sebab itu dengan memastikan kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Dengan demikian para pihak dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui suatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta yang menimbulkan persengketaan.

3.      Jasa-jasa Baik
 Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa dapat dua macam: atas permintaan para pihak atau atas inisiatifnya menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara ini, syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak

4.      Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.

5.      Konsiliasi
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi tersebut bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratanpersyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak

6.      Arbitrase
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketasengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire). Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :

(1). Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)

Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain. Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
 2. metode pemilihan panel arbitrase;
 3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
 4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu  kesepakatan.


Sumber :